Kemacetan telah menyebar di kota-kota besar Indonesia, terlebih Jakarta. Tak bisa dipungkiri salah satu penyebabnya adalah laju pertumbuhan industri kendaraan bermotor di Indonesia. Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menyebutkan rata-rata pertumbuhan kendaraan bermotor sejak 2006-2013 sebesar 23,14%.
Namun tidak bisa serta merta menyalahkan pelaku industri otomotif, karena ternyata percepatan laju pertumbuhan ini tidak diiringi upaya pemerintah dalam mempercepat perbaikan fasilitas transportasi masal dan tatakelola infrastruktur jalan. Maka jangan heran jika Jakarta dinobatkan sebagai ‘worst traffic in the world’ berdasarkan Castrol’s Stop-Start Index.
Berbagai upaya dilakukan pemerintah agar masyarakat beralih ke moda transportasi masal. Bisa kita lihat dari layanan busway, commuter line, bus umum, hingga aturan 3-in-1 dan car free day dilakukan untuk mengatasi rumitnya kemacetan Ibu Kota. Namun, masyarakat masih saja memilih penggunaan kendaraan pribadi karena transportasi umum dianggap belum terintegrasi dengan lokasi kerja dan dianggap juga inefficiency waktu.
Tentu saja kemacetan ini merugikan biaya dan waktu mereka yang tinggal di luar Jakarta tetapi beraktivitas di Jakarta, dari sisi waktu saja terbuang sia-sia dan itu bisa mencapai 65 hari dalam setahun bila dijumlahkan.
Konsumen semakin cerdas dan rasional
Masalah bertahun-tahun ini telah dijalani sebagian besar masyarakat yang bekerja di Jakarta dan bertempat tinggal di kota-kota penunjang ibu kota seperti Bogor, Depok, Bekasi, dan Tangerang. Namun sebut saja ojek, sebuah moda transportasi yang menjadi salah satu primadona angkutan alternatif, karena dianggap paling efektif sebab mampu memecah kemacetan dengan segala keluwesannya ke semua penjuru Jakarta.
Bisa kita lihat di hampir setiap sudut jalan dan perkantoran dapat ditemui pangkalan ojek. Sayangnya, seringkali perlakuan ‘abang ojek’ tak mengindahkan kualitas kenyamanan dan keamanan berkendara bagi konsumen yang memang sudah minim pilihan lain, sehingga harus memilih layanan jasa ojek yang bertarif tak menentu dan dengan segala kekurangannya demi menembus kemacetan.
Hingga saat ini, jumlah penyedia jasa ojek di Jakarta diperkirakan mencapai ribuan. Tidak ada yang memiliki data pasti mengenai jumlah dari penyedia jasa ojek. Lalu kini hadir layanan ojek modern dengan basis pemesanan online seperti GoJek dan Grab Bike. Tentu saja ini merupakan secercah harapan baru bagi pengguna jasa ojek. Betapa tidak, dari mulai ketersediaan helm buat si pelanggannya lalu berseragam jaket resmi hingga Standard Operating Procedure (SOP) yang mewajibkan santun di jalan menjadi nilai lebih yang diidam-idamkan pengguna ojek umumnya.
Gojek dan Grab Bike adalah ojek modern, dan bisa diartikan ojek konvensional (ojek pangkalan) yang dilatih memberikan pelayanan prima ke konsumen melalui perangkat selular untuk pemesanan online. Bisnis yang terinspirasi dari kemacetan Jakarta ini memberikan kepastian harga, kenyamanan berkendara dan keselamatan. Konsumen pun akan berani membayar lebih untuk nilai manfaat yang diperoleh.
Perilaku konsumen berubah menjadi lebih rasional dan cerdas dalam memilih suatu layanan jasa, termasuk memilih penggunaan transportasi yang paling efektif. Mereka berani membayar lebih dengan menghitung tiap 1 rupiah yang dikeluarkan dengan manfaat yang diperoleh. Tentu saja ini menjadi kesempatan bagi penyedia jasa ojek modern untuk meningkatkan daya saingnya melalui pelayanan prima dan keselamatan berkendara di jalanan Ibu Kota.
Pemenang dari kompetisi
Kehadiran layanan ojek modern akan meningkatkan kepuasan pengguna jasa ojek. Munculnya pemain-pemain baru layanan ojek modern justru akan menstimulus perbaikan pelayanan ojek itu sendiri. Penyedia jasa ojek modern akan berlomba-lomba berbenah diri untuk menunjukkan daya saingnya dalam ‘Industri ojek’.
Peluang lain pun ditangkap oleh perusahaan-perusahan ojek modern, model bisnis jasa ojek modern berkembang mulai merambah ke jasa kurir cepat, pemesanan makanan, hingga layanan berbelanja. Melihat fenomena tersebut, ini menjadi pukulan bagi ojek konvensional yang selama ini dipilih karena lemahnya daya tawar pelanggan ketika tidak ada pilihan menembus kemacetan.
Kemudian, siapakah yang menjadi pemenang dalam kompetisi ini? Ojek modern atau ojek konvensional? Jawabannya adalah bukan keduanya. Sejatinya yang paling dimenangkan dalam hal ini adalah konsumen. Konsumen saat ini bisa benafas lega dengan adanya pilihan layanan jasa ojek modern. Konsumen dapat memilih sendiri kualitas layanan yang dibutuhkan untuk sampai ke tempat tujuan, malah konsumen dapat membeli makanan kesukaan ataupun melakukan pengiriman/pengambilan barang tanpa harus keluar kantor.
Konsumen adalah penerima manfaat terbesar dari persaingan ‘industri ojek’ yang semakin kompetitif. Tentunya perkembangan layanan jasa ojek modern ini juga memberi manfaat bagi pebisnis makanan dan minuman, pun bagi pencinta kuliner yang malas berpergian karena kemacetan dapat melakukan pemesanan melalui jasa ojek modern tanpa harus datang ke tempat penjual.
Konsumen adalah raja, dan itu terjadi pada ojek modern. Kini ojek konvensional merasa tersingkirkan, tetapi harusnya mereka tersadar, tersingkirnya mereka adalah akibat dari tidak melakukan perbaikan layanan dan tidak mengikuti perubahan zaman yang ada. Karena dalam bisnis diperlukan perubahan, dinamis dan tidak diam agar tiada tergerus zaman dan akhirnya menghilang tak bisa bersaing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar